Jenis-jenis
pembiayaan syariah
Penyaluran dana atau
pembiayaan syariah secara garis besar dapat di kategorikan menjadi empat
menurut tujuan penggunaannya, yaitu :
1. Pembiayaan
dengan prinsip jual beli (Ba’i)
1.1 Murabahah
Merupakan
akad jual beli barang dimana seorang penjual menetapkan harga tertentu pada
suatu barang dengan menambahkan keuntungan (secara langsung) pada harga
beli/modalnya. Kedua pihak harus menyepakati harga jual dan waktu pembayaran.
Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli yang telah disepakati
1.2 Salam
Salam
adalah transaksi jual beli dimana barang yang diperjualbelikan belum ada. Oleh
karena itu barang diserakhan secara tangguh untuk membeli barang tersebut,
pembayarannya dilakukan secara tunai.
1.3 Istishna
Istishna
menyeruoai salam, namun dalam pembayarannya dilakukan secara berangsur. Perjanjian jual beli dalam bentuk pemesanan
pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati
antara pemesan dan penjual.
2.
Pembiayaan dengan Prinsip Sewa (Ijarah)
Ijarah adalah transaksi sewa menyewa atas
suatu barang atau upah mengupah atas suatu jasa dalam waktu tertentu melalui
pembayaran sewa atau imbalan jasa.
Ijarah muntahiya bittamlik adalah ijarah
dengan janji (wa’ad)yaang mengikat pihak yang menyewakan untuk mengalihkan
kepemilikna kepada penyewa.
3.
Pembiayaan dengan Prinsip Bagi Hasil
(Syirkah)
3.1
Musyarakah
Musyarakah adalah perjanjian di antara para pemilik
dana/modal untuk mencampurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu,
dengan pembagian keuntungan di antara pemilik dana/modal berdasarkan nisbah
yang telah disepakati sebelumnya dan bertanggungjawab akan segala kerugian yang
terjadi sesuai dengan penyertaan modal masing-masing.
3.2
Mudharabah
Merupakan
penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib)
untuk melakukan kegiatan usaha tertentu dengan pembagian menggunakan metode bagi
untung rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue
sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah (bagian keuntungan
usaha bagi masing-masing pihak yang besarnya ditetapkan berdasarkan
kesepakatan) yang telah disepakati sebelumnya.
Muhammad
(2001) menyebutkan bahwa mudharabah adalah suatu perkongsian antara dua pihak,
dimana pihak pertama (shahibul mal) yang menyediakan dana dan pihak kedua
(mudharib) yang bertanggungjawab atas pengelolaan usaha. Keuntungan dibagi
sesuai dengan rasio laba yang telah disepakati bersama advance, manakala rugi
shahibul mal akan kehilangan sebagian imbalan dari kerja keras dan keterampilan
manajerial (manajerial skill) selama proyek berlangsung.
Berdasarkan
kewenangan yang diberikan kepada mudharib, mudharabah dibagi menjadi 2 (dua)
jenis, yakni:
1.
Mudharabah Mutlaqah: mudharib diberi kewenangan penuh oleh shahibul maal untuk mengelola
modal tanpa batasan dalam usaha yang dianggap baik dan menguntungkan. Dalam hal
ini tanggung jawab atas pengelolaan modal usaha berada pada mudharib sesuai
dengan praktek kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf).
2.
Mudharabah Muqayyadah (restricted investment): shahibul maal bertindak selaku
channelling agent dan berwenang menetapkan syarat dan batasan tertentu
terhadap penggunaan dana oleh mudharib. seluruh resiko kerugian kegiatan usaha
tidak ditanggung oleh bank, melainkan oleh investor (pemilik dana), kecuali
jika nasabah lalai. Dalam skim pembiayaan ini, mudharib tidak diperbolehkan untuk mencampurkan modal dengan
dana lain. pada umumnya digunakan untuk investasi khusus dan reksadana.
Berikut ini adalah fatwa Dewan Syariah Nasional nomor
07/DSN-MUI/IV/2000 tertanggal 4 April 2000 :
Pertama
:
Ketentuan Pembiayaan:
1.
Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak
lain untuk suatu usaha yang produktif.
2.
Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana) membiayai 100 %
kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai
mudharib atau pengelola usaha.
3.
Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan
ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (LKS dengan pengusaha).
4.
Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan
sesuai dengan syari’ah; dan LKS tidak ikut serta dalam managemen perusahaan
atau proyek tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.
5.
Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai dan
bukan piutang.
6.
LKS sebagai penyedia dana menanggung
semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan
kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.
7.
Pada prinsipnya, dalam pembiayaan
mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan,
LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya
dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap
hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.
8.
Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme pembagian keuntungan
diatur oleh LKS dengan memperhatikan fatwa DSN.
9.
Biaya operasional dibebankan kepada
mudharib.
10.
Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau melakukan
pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atau
biaya yang telah dikeluarkan.
Kedua
:
Rukun dan Syarat Pembiayaan:
1.
Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.
2.
Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan
kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal
berikut:
a.
Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b.
Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c.
Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan
cara-cara komunikasi modern.
3.
Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana
kepada mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:
a.
Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.
b.
Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam
bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.
c.
Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik
secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
4.
Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal.
Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:
a.
Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.
b.
Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan
pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari
keun-tungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
c.
Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola
tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja,
kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
5.
Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan (muqabil) modal
yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:
a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif
mudharib, tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk
melakukan pengawasan.
b.
Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang
dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
c.
Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam tindakannya yang
berhubungan dengan mudhara-bah, dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam
aktifitas itu.
Ketiga
:
Beberapa Ketentuan Hukum Pembiayaan:
1. Mudharabah boleh
dibatasi pada periode tertentu.
2.
Kontrak tidak boleh dikaitkan (mu’allaq) dengan sebuah kejadian di masa depan
yang belum tentu terjadi.
3.
Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya akad
ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan
disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
4.
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
4.
Pembiayaan dengan Prinsip Akad Pelengkap
4.1. Hiwalah
Merupakan
pengalihan piutang nasabah kepada bank syariah untuk membantu nasabah mendapatkan
modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya dan bank mendapat imbalan atas jasa
pengalihan piutang tersebut. Hiwalah secara umum merupakan anjak piutang.
4.2. Rahn
Merupakan
transaksi gadai antara bank syariah dengan pemilik barang yang membutuhkan dana
dimana pemilik barang tersebut dapat menggadaikan barang yang dimilikinya untuk
menjadikan barang tersebut sebagai jaminan hutang kepada bank, hingga pemilik
barang yang bersangkutan boleh mengambil barangnya setelah melunasi hutangnya
kepada bank. Bank akan membebankan jasa gadai sesuai dengan kesepakatan.
4.3. Qard
Merupakan
kontrak antara bank syariah dengan nasabahnya untuk memfasilitasi nasabah yang
membutuhkan dana talangan segera untuk jangka waktu yang sangat pendek. Dalam
hal ini, bank menyediakan fasilitas pinjaman dana kepada nasabah yang patut,
dan nasabah hanya berkewajiban mengembalikan sejumlah pinjaman, sedangkan bank
dilarang meminta imbalan apapun dari nasabah, kecuali nasabah memberikan dengan
suka rela.
5.
Pembiayaan Multijasa
Pembiayaan
Multijasa merupakan pola pembiayaan yang menggunakan akad Ijarah atau Kafalah.
Dalam pembiayaan dimaksud, bank syariah memperoleh fee dari imbalan jasa
(ujrah) sesuai dengan kesepakatan awal, yang dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan
dalam bentuk prosentase
Terimakasih Infonya
BalasHapussangat bermanfaat..
Perkenalkan saya mahasiswa Fakultas Ekonomi di UII Yogyakarta
:)
twitter : @profiluii
kunjungan balik :)
wah bagus infonya...
BalasHapusterima kasih.
saya admin di http://pembiayaansyariah.info
terima kasih