Senin, 14 Mei 2012

Pembiayaan Syariah

Jenis-jenis pembiayaan syariah
Penyaluran dana atau pembiayaan syariah secara garis besar dapat di kategorikan menjadi empat menurut tujuan penggunaannya, yaitu :

1.      Pembiayaan dengan prinsip jual beli (Ba’i)
1.1  Murabahah
Merupakan akad jual beli barang dimana seorang penjual menetapkan harga tertentu pada suatu barang dengan menambahkan keuntungan (secara langsung) pada harga beli/modalnya. Kedua pihak harus menyepakati harga jual dan waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli yang telah disepakati
1.2  Salam
Salam adalah transaksi jual beli dimana barang yang diperjualbelikan belum ada. Oleh karena itu barang diserakhan secara tangguh untuk membeli barang tersebut, pembayarannya dilakukan secara tunai.
1.3  Istishna
Istishna menyeruoai salam, namun dalam pembayarannya dilakukan secara berangsur. Perjanjian jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan dan penjual.

2. Pembiayaan dengan Prinsip Sewa (Ijarah)
Ijarah adalah transaksi sewa menyewa atas suatu barang atau upah mengupah atas suatu jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa.
Ijarah muntahiya bittamlik adalah ijarah dengan janji (wa’ad)yaang mengikat pihak yang menyewakan untuk mengalihkan kepemilikna kepada penyewa.

3.      Pembiayaan dengan Prinsip Bagi Hasil (Syirkah)
3.1  Musyarakah
Musyarakah adalah perjanjian di antara para pemilik dana/modal untuk mencampurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan di antara pemilik dana/modal berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya dan bertanggungjawab akan segala kerugian yang terjadi sesuai dengan penyertaan modal masing-masing.
3.2 Mudharabah
Merupakan penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu dengan pembagian menggunakan metode bagi untung rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah (bagian keuntungan usaha bagi masing-masing pihak yang besarnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan) yang telah disepakati sebelumnya.
Muhammad (2001) menyebutkan bahwa mudharabah adalah suatu perkongsian antara dua pihak, dimana pihak pertama (shahibul mal) yang menyediakan dana dan pihak kedua (mudharib) yang bertanggungjawab atas pengelolaan usaha. Keuntungan dibagi sesuai dengan rasio laba yang telah disepakati bersama advance, manakala rugi shahibul mal akan kehilangan sebagian imbalan dari kerja keras dan keterampilan manajerial (manajerial skill) selama proyek berlangsung.
Berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada mudharib, mudharabah dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yakni:
1. Mudharabah Mutlaqah: mudharib diberi kewenangan penuh oleh shahibul maal untuk mengelola modal tanpa batasan dalam usaha yang dianggap baik dan menguntungkan. Dalam hal ini tanggung jawab atas pengelolaan modal usaha berada pada mudharib sesuai dengan praktek kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf).
2. Mudharabah Muqayyadah (restricted investment): shahibul maal bertindak selaku channelling agent dan berwenang menetapkan syarat dan batasan tertentu terhadap penggunaan dana oleh mudharib. seluruh resiko kerugian kegiatan usaha tidak ditanggung oleh bank, melainkan oleh investor (pemilik dana), kecuali jika nasabah lalai. Dalam skim pembiayaan ini, mudharib tidak  diperbolehkan untuk mencampurkan modal dengan dana lain. pada umumnya digunakan untuk investasi khusus dan reksadana.

Berikut ini adalah fatwa Dewan Syariah Nasional nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 tertanggal 4 April 2000 :
Pertama : Ketentuan Pembiayaan:
1. Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif.
2. Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana) membiayai 100 % kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha.
3. Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (LKS dengan pengusaha).
4. Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai dengan syari’ah; dan LKS tidak ikut serta dalam managemen perusahaan atau proyek tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.
5. Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
6.  LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.
7.  Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.
8. Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan memperhatikan fatwa DSN.
9.    Biaya operasional dibebankan kepada mudharib.
10. Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atau biaya yang telah dikeluarkan.
Kedua :    Rukun dan Syarat Pembiayaan:
1. Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.
2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan   tujuan kontrak (akad).
b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
3. Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:
a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.
b. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.
c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
4. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:
a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh  disyaratkan hanya untuk satu pihak.
b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keun-tungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
5. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan (muqabil) modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:
    a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudhara-bah, dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.
Ketiga :  Beberapa Ketentuan Hukum Pembiayaan:
1. Mudharabah boleh dibatasi pada periode tertentu.
2. Kontrak tidak boleh dikaitkan (mu’allaq) dengan sebuah kejadian di masa depan yang belum tentu terjadi.
3. Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
4. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

4. Pembiayaan dengan Prinsip Akad Pelengkap
4.1. Hiwalah
Merupakan pengalihan piutang nasabah kepada bank syariah untuk membantu nasabah mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya dan bank mendapat imbalan atas jasa pengalihan piutang tersebut. Hiwalah secara umum merupakan anjak piutang.
4.2. Rahn
Merupakan transaksi gadai antara bank syariah dengan pemilik barang yang membutuhkan dana dimana pemilik barang tersebut dapat menggadaikan barang yang dimilikinya untuk menjadikan barang tersebut sebagai jaminan hutang kepada bank, hingga pemilik barang yang bersangkutan boleh mengambil barangnya setelah melunasi hutangnya kepada bank. Bank akan membebankan jasa gadai sesuai dengan kesepakatan.
4.3. Qard
Merupakan kontrak antara bank syariah dengan nasabahnya untuk memfasilitasi nasabah yang membutuhkan dana talangan segera untuk jangka waktu yang sangat pendek. Dalam hal ini, bank menyediakan fasilitas pinjaman dana kepada nasabah yang patut, dan nasabah hanya berkewajiban mengembalikan sejumlah pinjaman, sedangkan bank dilarang meminta imbalan apapun dari nasabah, kecuali nasabah memberikan dengan suka rela.

5. Pembiayaan Multijasa
Pembiayaan Multijasa merupakan pola pembiayaan yang menggunakan akad Ijarah atau Kafalah. Dalam pembiayaan dimaksud, bank syariah memperoleh fee dari imbalan jasa (ujrah) sesuai dengan kesepakatan awal, yang dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase

2 komentar:

  1. Terimakasih Infonya
    sangat bermanfaat..
    Perkenalkan saya mahasiswa Fakultas Ekonomi di UII Yogyakarta
    :)
    twitter : @profiluii

    kunjungan balik :)

    BalasHapus
  2. wah bagus infonya...
    terima kasih.

    saya admin di http://pembiayaansyariah.info

    terima kasih

    BalasHapus